Sodong: Area Pergulatan Kebudayaan

SODONG, AREA PERGULATAN KEBUDAYAAN  

(SIASAT KOMUNITAS LOKAL TERHADAP

FORMALISASI AGAMA)

Oleh: Murdianto et al.*

Abstract: Region of Sodong, Sampung Ponorogo is the region where its people are still holding on to the Javanese tradition in spite of being invation by great tradition such as Budha and Islam. The identity of Javanese established in Sodong can do cultural dialectics. Furthermore it can make strategy and do resistance movement to many dominant cultures around it. The coming of the great religions formalized by government of new order is only put in disply of their culture. At the same time in a day of cultural practice, they play the Javanese rites inherited by their ancestors. With Javanese identities its genuineness is guarded in the process of struggle for formalizing religion among them.

Keywords: Sodong, Resistensi Komunitas, Formalisasi Agama.

PENDAHULUAN

Sodong, sebagaimana dikatakan oleh P. Kardi (78 th) mantan Kamituwo di daerah setempat, adalah sebuah dusun yang secara geografis berada di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, tepatnya di daerah perbatasan antara Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Wonogiri, berada di tengah empat pegunungan, dihuni sekitar 200 KK. Tanah di daerah ini termasuk kategori lahan kering, dipinggir hutan Jati milik Perhutani. Masyarakat setempat banyak mengandalkan mata pencaharian dari bertani, dan yang dihasilkan dari hanya bertanam singkong. Tidak aneh, bahwa dilihat dari kondisi pemukiman, daerah ini merupakan daerah miskin. Sebagian lainnya, bekerja sebagai  buruh di daerah-daerah sekitarnya.

Satu sisi yang menjadi daya tarik untuk memotret komunitas ini berawal dari kenyataan bahwa, daerah ini di katakan ‘beragama’ Budha, yang merupakan agama minoritas daerah itu. Di sisi lain komunitas ini memiliki sebuah tradisi seni religi berbentuk kidungan -mirip dengan pembacaan syi’ir dalam tradisi Islam- yang seringkali dilaksanakan pada Bulan Purnama. Kelompok masyarakat ini di pimpin oleh seorang sesepuh bernama Mbah Saimin, seorang informan yang darinya banyak didapatkan informasi akan komunitas ini, di samping banyak pihak pula yang dapat diwawancarai untuk mendapatkan informasi tentang komunitas Sodong.

Mbah Saimin bercerita bahwa daerah ini awalnya merupakan titik penting dalam sejarah Ponorogo terutama kaitannya dengan pertarungan politis kekuasaan masa lalu antara kekuatan rezim legendaris dalam sejarah Ponorogo, yakni Bathoro Katong. Dalam pandangan Mbah Saimin, Bathoro Katong adalah putra Brawijaya V. Dalam pandangan Mbah Saimin pula ketidaksukaan Bathoro Katong terhadap Kasultanan Surakarta, diwujudkan dengan upaya agresi Bathoro Katong untuk menancapkan pengaruh kuat di daerah perbatasan, dan Gelang Kulon (Sodong) adalah salah satu titik yang menjadi daerah perebutan pengaruh ini. Gelagat ini dicium oleh penguasa Surakarta dengan mengirimkan dua orang utusan punggawa bersama prajuritnya untuk menghadang agresi, yakni Den Bagus Plompong dan Den Bagus Karang. Kedatangan kedua orang punggawa beserta prajuritnya ini telah dicium oleh Bathoro Katong. Singkat cerita, menurut Mbah Saimin, Bathoro Katong pun mengerahkan prajuritnya untuk menghadang kedua punggawa Surakarta tersebut, namun gelagat dari Bathoro Katong mengirimkan pasukan ini telah diketahui oleh Den Bagus Plompong dan Den Bagus Karang. Mereka lalu membuat semacam pesanggrahan untuk menjaga daerah kekuasaannya. Tempat ini sekarang di sebut Selo Bale, dan telah menjadi tempat sakral yang diziarahi (danyangan) bagi masyarakat setempat, terutama pada malam pergantian tahun Jawa, tanggal 1 Suro. Selanjutnya Mbah Saimin dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa akhirnya sesama prajurit Bathoro Katong saling berkelahi tanpa diketahui secara pasti apa penyebabnya, yang jelas karena hal inilah, Bathoro Katong gagal menancapkan pengaruh kekuasaan di daerah ini.

Menyimak sejarah lesan yang dituturkan Mbah Saimin dimasa lalu, Sodong sudah menjadi daerah perebutan klaim kekuasaan, yang di masa lalu antara Kesultanan Surakarta (Pajang) dengan Bathoro Katong sebagai penguasa Ponorogo di satu sisi. Bathoro Katong gagal menancapkan pengaruh di daerah ini. Dari keterangan ini dapat dilihat sebab mengapa daerah ini relatif tidak mengalami Islamisasi secara cepat sebagaimana daerah disekitarnya, dan mengapa pula pengaruh nilai-nilai pra Islam masih dianut masyarakat setempat, walaupun pada akhirnya juga menjadi alasan di klaim sebagai Budha. Kebencian dengan simbol-simbol kekuasaan yang dikaitkan dengan keagungan Bathoro Katong, dapat di telusuri untuk melihat sejauh mana pertarungan yang sedang terjadi di sana. 

FORMALISASI AGAMA ORANG SODONG 

Menurut salah seorang tokoh dan pendiri masjid di daerah setempat yang bernama Mujiono, Mbah Saimin sendiri dalam kesehariannya dipandang masyarakat sekitar sebagai sesepuh masyarakat secara umum. Bukan tokoh dari agama tertentu semata, bahkan menurut tokoh pemuda Sodong yang juga tetangga Mbah Saimin bernama Budiono, Mbah Saimin adalah seorang guru kebathinan (kejawen) bagi para pengikutnya. Menurut anak-anaknya, Mbah Saimin sendiri sampai kini penganut sebuah aliran kepercayaan Sastro Jendro Hayuningrat, sebuah varian dari aliran kejawen. Wajarlah dalam ajaran ini nuansa sinkretisme sangat terasa. Terbukti dengan beberapa rujukan ajaran yang banyak dipakai dalam ajaran moralnya seperti kitab Darmogandul,Veda Badra Sakti, Djati Kusumo dan Jongko Joyoboyo. Dalam kesempatan beberapa kali pertemuan dengan Mbah Saimin, dikatakan kitab tersebut banyak dipakai sebagai rujukan ajaran-ajarannya, dan seperti lazimnya, kitab ini adalah sumber dari ajaran kejawen. Untuk menegaskan data ini, dia menyebut kawan terkenal semasa mudanya ketika belajar di Jatisrono (Wonogiri) sebagai tokoh kebatinan, yakni Mbah Darsi dari daerah Kauman, arah 12 km timur Sodong.

Sebagai tokoh komunitas Sodong, Mbah Saimin berusaha memberikan penjelasan berkait dengan agama. Menurutnya agama adalah ageman (pakaian) dan “pakaian berfungsi penutup badan (lahiriyah) semata, adapun nama dan jenis pakaian dapat saja bermacam–macam, akan tetapi fungsinya sama yakni sebagai penutup aurat (badan), demikian juga halnya dengan agama”, namun demi kepentingan administratif kependudukan (seperti KTP, perkawinan) menganut agama secara formal kemudian dilakukan. Dari hasil wawancara dengan tokoh lain yang menjadi Kamituwo di Sodong bernama Mbah Kardi, sampai detik ini belum ditemukan data: kapan kepercayaan yang dianut Mbah Saimin kemudian diklaim identik dengan agama Budha, meski sebagai simbol dari agama tersebut telah didirikan tempat peribadatan berupa Vihara. Memang pembangunan Vihara tersebut berkait erat hubungannya dengan beberapa pengusaha China dan dukungan Pak Bolo, seorang guru Budha dan  pak Maryadi, seorang ABRI, keduanya dari Madiun. Proses Budhanisasi ini di lakukan oleh salah satu sekte Budha, yakni Budha Theravada. Sampai kini, ritualitas agama Budha terwujud dalam setiap kali peringatan Waisak, yang banyak di hadiri oleh mereka dari luar daerah, termasuk dari Surabaya dan tempat yang lain. Ritual persembahyangan juga diselenggarakan pada malam Jum’at Pahing. Dalam Vihara Budha, simbol-simbol agama Budha nampak jelas, dan di dalamnya terdapat patung Sidharta Gautama, padahal dalam beberapa kali kesempatan bertemu dengan anggota masyarakat yang lain, selalu menegaskan berkali-kali pula, bahwa secara formal sebagian dari mereka memang beragama Budha dan sebagian lagi Islam, satu hal yang oleh mereka dianggap tidak penting, karena menurut mereka soal agama hanya semata-mata soal pakaian, soal administratif semata.

Satu data lain yang memperlihatkan secara nyata bagaimana relasi komunitas ini dengan agama formal lain adalah hubungannya dengan agama Islam sebagai agama dominan. Kamituwo Mbah Kardi, yang dipandang beragama Islam, pernah dipanggil oleh rezim politik daerah pada tahun 1982 untuk menghadap di gedung Korpri (Pendopo Kabupaten) saat itu, ternyata di suruh untuk mendirikan Masjid di daerah ini. Dukungan ini juga muncul dalam bentuk pendanaan dari arisan guru-guru agama (Islam) seluruh kecamatan Sampung. Mujiono, sebagai tokoh pemuda masyarakat Sodong, juga pernah di panggil oleh KUA (Kantor Urusan Agama) setempat untuk mendirikan Masjid hal ini juga terjadi pada tahun 1982. Pembangunan Masjid ini tidak lain merupakan bentuk reaksi masyarakat santri (Islam) terhadap berdirinya Vihara di Sodong. Hal ini diperjelas dengan keterangan bahwa dukungan juga didapatkan tokoh-tokoh Islam dari Kebonsari, (Carangrejo) sebuah daerah santri yang berjarak sekitar 6 kilometer arah utara Sodong. Hal ini diakui juga oleh Salim salah seorang warga Kebonsari. 

Mujiono, salah seorang panitia pembangunan Masjid di Sodong tahun 1982 menjelaskan bahwa, pada awal-awal pendirian Masjid itu, terdapat sebuah kesepakatan bahwa pada setiap hari Jum’at, para guru agama di Sampung dan tokoh-tokoh Islam dari daerah-daerah sekitarnya untuk melaksanakan shalat Jum’at di masjid yang baru dibangun tersebut. Hal ini berlangsung berbulan-bulan, dan dilakukan pada momentum tepat sekitar pendirian Vihara di daerah itu. Data ini secara langsung dapat menunjukkan bagaimana perebutan klaim dan persebaran pengaruh itu terjadi. Perebutan klaim antara Islam dan Budha dalam memberi label agama bagi masyarakat setempat akhirnya sempat memberi warna baru pada pola keberagamaan masyarakat Sodong. Banyak diantara mereka yang dapat dikatakan sebagai pengikut ajaran kejawen yang diajarkan Mbah Saimin, ternyata secara formal memeluk agama Islam atau Budha. Anehnya, menurut mantan Kamituwo setempat, orang tua Mbah Saimin sendiri semasa hidupnya ber-ageman Islam.

Persaingan dan perebutan klaim ini sampai saat ini masih berlangsung, sebagaimana yang diillustrasikan oleh Marsudi, seorang tokoh muda Budha saat diwawancarai pada tanggal 6 Januari 2004. Dia menjelaskan bahwa di kalangan masyarakat Budha, memang ada pertemuan rutin setiap Rabu Pon bagi kaum laki-laki dan setiap Rabu dalam minggu bagi kaum perempuan, namun upaya ini di ‘saingi’ oleh orang Islam dengan yasinan, yang diselenggarakan pada hari Rebo Pon juga. Lebih dari itu, tiga hari sebelumnya tepatnya tanggal 3 Januari 2004, seorang tokoh remaja Masjid Sodong bernama Budiono menjelaskan bahwa upaya Islamisasi di Sodong semakin intensif dari waktu ke waktu terjadi. Sodong menjadi tempat KKN beberapa Perguruan Tinggi yang berbasis Islam, yakni UNMUH Ponorogo dan ISID (Institut Studi Islam Darussalam) Gontor di pertengahan tahun 1990-an. Lebih jauh, tokoh NU kecamatan Sampung, KH Mahfuzh pada tanggal 12 Januari 2005 menjelaskan bahwa islamisasi di Sodong dibantu secara aktif oleh tokoh-tokoh NU dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara lain Suhanto (politisi/mantan anggota DPRD PPP Ponorogo), dan Chamid (dari Pesantren Darul Huda Mayak), serta KH Ghozali Anwar seorang tokoh NU. Namun masyarakat setempat sampai kini enggan di sebut NU, karena kebetulan daerah ini merupakan daerah pelarian PKI 65, yang akhirnya di eksekusi juga, yang jelas memiliki persoalan dengan NU (terutama Ansor). Menurut Ketua GP Ansor Ponorogo, Rahmat Irianto saat ditemui pada tanggal 13 Januari 2005, Hal ini terjadi berulang-ulang, dan terakhir kali pada awal tahun 2005 GP Ansor Cabang Ponorogo, juga mengadakan bhakti Sosial dan penyembelihan hewan Qurban di sebelah utara Sodong salah satunya dilandasi pertimbangan bahwa daerah ini terdapat komunitas yang beragama Budha, yang diharapkan dalam jangka panjang diharapkan mampu meng-Islam-kan secara sesungguhnya warga non-Budha setempat, atau menahan kecenderungan perkembangan ‘Budha’ di daerah ini.

Pembangunan mushalla baru di sebelah utara desa Sodong semakin memperpanjang masa perebutan klaim itu. Salah satu anggota LKD (dulu  LMD), yang menolak di sebut namanya, menyatakan bahwa mayoritas masyarakat daerah tersebut memeluk agama Islam. Islam yang dikatakan disini jelas adalah hitungan mereka yang menganut agama Islam sesuai yang tertera dalam KTP.

Mbah Saimin sebagai seorang sesepuh masyarakat setempat, bukan tokoh satu komunitas agama saja. Saat ada hajatan selamatan kelahiran, Mbah Saimin juga masih diundang untuk membacakan ‘kidungannya’ di rumah warga setempat, baik mereka yang ‘beragama Budha’ maupun ‘beragama Islam’. Perbedaan dan pembedaan agama mereka rupanya tidak cukup mampu membatasi interaksi budaya mereka, Mbah Saimin tetap saja menjadi seorang dalang kidung di banyak tempat di daerah itu.

Persaingan ini membuahkan persoalan baru bagi komunitas Sodong secara umum. Bagaimana tidak, tradisi yang sebelumnya pernah ada seperti ruwatan saat hajatan kelahiran, kelompok kidungan menjadi semakin surut akibat pengaruh pertarungan ini. Misalnya merubah ruwatan dengan pengajian dan sejenisnya, bahkan banyak kesenian –misalnya Tayub, kini yang masih tersisa hanya karawitan, dan kidungan ini pun hanya di uri-uri oleh kaum tua saja, dalam arti Mbah Saimin- punah, karena dianggap tidak sesuai dengan agama.

SODONG DAN RESISTENSI POLITIKNYA  

Dalam masyarakat Ponorogo, Bathoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris. Nama Bathoro Katong diabadikan sebagai nama stadion, nama jalan utama Ponorogo dan setiap tahun diperingati dalam bentuk kirab pusaka milik Bathoro Katong dari makamnya ke pendopo Kabupaten. Bathoro Katong, bukan sekedar figur sejarah semata, namun telah berubah menjadi ikon kekuasaan politik Ponorogo sampai sekarang.

Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini, namun Mbah Saimin punya pandangan yang agak berbeda dalam memandang Bathoro Katong. Dari titik ini dapat ditelusuri bagaimana Mbah Saimin dan komunitas kebudayaan Sodong berhadapan dengan rezim kekuasaan  dengan sebuah perlawana simbolik terhadap pusat kekuasaan.

Dari keterangan Moh Yusuf -seorang dalang Jemblungan yang juga keturunan ke VII tokoh legendaris Bathoro Katong- diperoleh penjelasan bahwa Bathoro Katong tidak lain adalah putra Prabu Brawijaya V, tepatnya adik Raden Fatah pendiri Demak Bintoro. Sejak awal dia ingin meruntuhkan dominasi Majapahit -yang kebetulan memiliki kepercayaan Hindu-Budha- dengan kekuasaan baru Demak Bintoro yang berlandaskan Keislaman. Brawijaya V pada masa hidupnya berusaha diIslamkan oleh para wali, Mbah Saimin menyebutnya dengan Sunan Wolu. Menurut Mbah Saimin para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V untuk dikawinkan dengan seorang Putri Campa yang beragama Islam, bernama Dewi Mursiyah. Para wali sendiri dipandang Mbah Saimin sebagai pembujuk, dan penghasut Prabu Brawijaya V. Berdasarkan keterangan KH. Mujab Tohir tentang sejarah Reyog Ponorogo pada acara halaqah Kebudayaan Desantara 28 April–2 Mei 2002 di Ponorogo, diperoleh penjelasan bahwa Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa itu justru mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit, yang secara langsung berhubungan dengan dinamika perebutan pengaruh di daerah-daerah kekuasaanya termasuk Wengker (Ponorogo). Sementara itu Mbah Saimin menjelaskan bahwa perkawinan Prabu Barwijaya V dengan Dewi Mursiyah memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana yang lain. Seorang punggawa Prabu Brawijaya bernama Raden Ketut Suryongalam, kemudian memutuskan untuk keluar dari Majapahit, dan membangun ‘daerah’ tersendiri di tenggara Gunung Lawu tepatnya di Kutu (tenggara kota Ponorogo). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya di anggap sebagai ancaman oleh penguasa Majapahit, yang selanjutnya pandangan ini dimiliki juga dengan kasultanan Demak sebagai penerus ‘kejayaan’ Majapahit dengan warna Islam-nya. Pada saat itulah penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni Bathoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji. Singkat cerita Mbah Saimin, menyebutkan terjadilah pertarungan antara Bathoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Bathoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Bathoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Sulastri, dengan di ‘iming-imingi’ akan di jadikan istri. Niken Sulastri inilah yang dimanfaatkan Bathoro Katong untuk mengambil pusaka pamungkas Ki Ageng Kutu Koro Welang. Pusaka pamungkas Ki Ageng Kutu ini sampai sekarang masih ada dan diarak setiap tahun dalam acara Hari Jadi Ponorogo dari makam Batho Katong menuju Pendopo Agung Kabupaten Ponorogo. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Dalam kaitan ini pada tanggal 12 Desember 2005 saat diwawancarai, Mbah Saimin meyakini bahwa Ki Ageng Kutu tidak mati sampai sekarang.

Melihat dari sumber-sumber sejarah yang beredar secara lesan dan tertulis tentang Ponorogo bahwa Bathoro Katong adalah pahlawan dan pendiri Ponorogo. Berikut cerita yang beredar terutama di kalangan santri yang direpresentasikan oleh Mbah Yusuf, salah seorang keturunan Bathoro Katong:

Raden Katong diutus oleh Kakandanya dari Demak Bintoro, yakni Raden Fattah. Diutus supaya membuka hutan sebelah tenggara gunung Lawu. Sebenarnya begini, diutusnya Raden Katong oleh Raden Fatah, berhubungan dengan upaya menundukkan ayahanda di Majapahit (Brawijaya V-pen). Raden Katong mengingatkan Raden Fatah, “Kang Mas, kita ini ada karena adanya juga orang tua, ada dua matahari. Jadi jangan sampai meneruskan upaya menundukkan ayah di Majapahit”. Sesudah itu, ia berkata” jadi tidak pernah akan terlaksana cita-citaku, maka aku harus bisa menundukkan ayah Barwijaya.” Akhirnya beliau (Raden Katong) di utus untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah tenggara gunung Lawu. Kemudian buka hutan di sana.

Sesudah itu, Raden Katong diberi dua pusaka. Pertama, bekalmu Cengkir, kedua, ilmu cangkul, maksudnya ilmu papat ojo sampi ucul (ilmu empat jangan sampai hilang) yaitu, syahadat, sholat, zakat, dan keempat puasa. Yang kelima doh rone (jauh perginya) yakni naik haji. Kemudian diberi dua orang pengikut yakni Selo Aji, dan yang kedua Margo Ewuh. Setelah sampai di Ponorogo, di tenggara Gunung Lawu mereka menemukan penghalang-penghalang yang begitu banyak. “Lha, ini kan orang Islam tapi tidak mengerti tentang peraturan, kemudian Raden Katong mengadakan musyawarah, dan pada suatau malam melakukan tahajjud. Mendapatkan ilham berbunyi, “ada tengahnya tidak ada pinggirnya, ketahuilah ada tengahnya tidak ada pinggirnya, kalau kalian tidak tahu pada tengah malam mari kita shalat tahajjud dan sholat taubat, supaya bisa sukses membuka hutan ini.” Sesudah itu, semuanya sudah shalat tahajjud dan sholat hajat, ada salah satu ‘wujud’ kalau di sebut hewan, kok tidak bergerak. Kalau dikatakan tumbuhan kok tidak ada angin ia bergerak-gerak, dan juga kok ada burung yang hinggap di atasnya. Sesudah itu Raden Katong menyiapkan, dan mulai mendekat, ternyata ‘wujud’ itu adalah hewan. Kemudian, dikeroyok dan dipotong kemudian gemlundung (berguling-gulinglah) kepalanya di tanah. Sesudah itu, dipanggul bersama-sama dan semuanya sangat bergembira. Sirahe gemlundung, sing nyunggi jogetan mleter (kepala hewan berguling-guling), kemudian yang memikul semua berjoget gembira. Nanti dimasa yang akan datang diberi nama reyog. Karena terlalu beratnya, kemudian riyegriyeg (miring kekanan-kekiri), dan kemudian dinamakanlah Reyog. Raden Katong kemudian berkata “mari kita doa’kan tempat ini menjadi sebuah negara atau desa yang edi peni (menyenangkan), kemudian Raden Katong memberi nama “Prono Rogo.” Jadi, kepranan (kehadiran) para prajurit dan para jin pada saat itulah, yang kemudian diberikan nama sebagai Prana Raga, atau lazim disebut sebagai Ponorogo. Semua terasa begitu Islami dan sentral dari kesemuanya adalah figur Bathoro Katong.

Pandangan ‘berbeda’ Mbah Saimin terhadap figur Bathoro Katong memang dapat diketegorikan langka. Apalagi ini muncul dari seorang tokoh masyarakat yang memimpin sebuah komunitas yang beragama ‘minoritas’ atau secara formal beragama Budha, di tengah masyarakat santri yang memandang formalisme keberagamaan sebagai suatu ukuran beradabnya masyarakat. Pandangan formalisme kebergamaan ini sangat terlihat -misalnya- dari reaksi atas pendirian Vihara pada tahun 1982, yang mengakibatkan guru-guru Agama Islam serta tokoh-tokoh agama setempat bahu-membahu dalam mendirikan masjid sebagai penghadang budhanisasi. Pandangan negatif terhadap figur Bathoro Katong dan pemujaan terhadap figur Ki Ageng Kutu, tidak lain adalah sebuah ‘perlawanan simbolik’ terhadap sejarah dominan yang berkembang di tengah masyarakat Ponorogo. Terlebih lagi kini, figur Bathoro Katong, bukan hanya figur sejarah semata, namun telah menjadi simbol kekuasaan di Ponorogo. Bathoro Katong lebih dilihat sebagai seorang penjajah yang begitu licik mengalahkan kekuatan lokal dalam hal ini diwakili oleh Ki Ageng Kutu. Perbedaan pandangan ini juga menyiratkan sebuah ‘siasat’ terhadap sebuah dominasi nilai tertentu, dan juga masyarakat setempat, secara simbolik masih merawat keberadaan Selo Bale, yang tidak lain adalah monumen kekalahan pasukan Bathoro Katong, sebagai salah satu tempat suci.

Bentuk resistensi secara simbolik terhadap kekuasaan lokal diperlihatkan secara cerdas oleh Mbah Saimin sesepuh masyarakat Sodong. Perlawanannya terhadap narasi dominan sebenarnya mereka ingin mengatakan bahwa kami memang berbeda, hanya saja dengan cara yang cukup santun.

Di luar penilaian atas simbol kekuasaan di atas, mulai tahun 1982 masyarakat Sodong, harus berurusan dengan persoalan administratif saat perkawinan. Beberapa tahun terakhir, banyak pasangan suami istri (rata-rata sudah tua) yang diputihkan kembali pernikahannya dengan perkawinan secara keagamaan, karena sebelumnya mereka masih menikah secara adat, yang tidak diakui oleh negara. Sejak secara perlahan mereka diharuskan menganut agama formal yakni Islam dan Budha, mereka harus melakukan pernikahan kembali secara agama. Sebagian yang beragama Budha mendaftarkan perkawinan mereka ke Catatan Sipil. Sebagaimana bagi mereka yang beragama Islam, harus ke KUA. Inilah yang menjadi alasan, mengapa Mbah Saimin dan sebagian masyarakat setempat kemudian mengalah untuk secara formal dicatat beragama Budha, sebagaimana yang lain kemudian memilih ‘ageman’ Islam, meskipun sampai kini mereka tetap memegang keyakinan dan kedirian mereka, dan terus meneruskan kepercayaan  yang diwariskan nenek moyang mereka, walau pun “peng-agama-an” itu ternyata telah memotong proses reproduksi ajaran kepada anak cucu orang sodong, yang tak lagi mengenal kediriannya dan sejarah masyarakatnya.

PENUTUP

Sodong, memang hanyalah satu titik dalam peta Ponorogo, namun daerah ini menjadi simbol pergulatan dan upaya dominasi dari berbagai kebudayaan dan kepercayaan. Bukankah kebudayaan memang merupakan proses pergulatan komunitas manusia dengan kehidupan di sekitarnya?

[Terima kasih atas bantuan teman-teman: Samsul, Cipto, dan Ilham yang membantu penggalian data di lapangan].


* Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyyah INSURI Ponorogo

4 comments

  1. sangat bagus dan menarik untuk ditindak lanjuti lebih menyentuh komunitas tersebut agar maju dan mengenal nilai islam sejati

    Suka

  2. Sebelum saya ke Sodong, saya pikir akan bertemu dengan orang-orang kampung yang pasif. Nyatanya saya bagaikan menemukan motivator motivator ulung yang memaknai hidup sebagai usaha dan berbuat kebaikan bagi diri sendiri dan makhluk lain.
    Bahkan saya salut karena mereka bertahan dari berbagai orang-orang yang ingin mengajak mereka masuk agama lain. Hal tersebut nampaknya memang sudah dilakukan sejak zaman persebaran Islam di Wengker, sehingga penduduk yang tak mau memeluk agama Islam pun harus minggir ke pegunungan seperti di Sodong, Pait dan Ngadas (Kab Malang), dan tempat-tempat terpencil lain. Saya hanya salut pada mereka, dan karena agama itu adalah kecocokan.

    RALAT: Mohon maaf, yang benar itu Buddha, bukan Budha. Jika ditulis Budha, maka itu adalah planet Merkurius dalam mitologi Hindu, Putra Candra (bulan) dengan Rohini. Jika ditulis Buddha, maka merujuk pada orang-orang yang telah mencapai nibbana (dan juga ajaran Siddhata Gautama).

    Suka

Tinggalkan komentar