Fiqh Reproduksi Perempuan

FIKIH REPRODUKSI PEREMPUAN:

TINJAUAN TERHADAP ABORSI DAN PERNIKAHAN DINI

Oleh: Ruslià

Abstrak: Tulisan ini akan melakukan telaah terhadap isu-isu kontemporer penting, seperti pernikahan dini dan aborsi. Keduanya berkaitan erat dengan kesehatan wanita. Islam yang mempunyai konsen pada isu-isu ini telah meletakkan tata aturan legal yang bersifat general. Di antaranya adalah prinsip legal bahwa semua hal yang bisa membahayakan dan merusak manusia sebagai person dan badan mereka harus dihilangkan dan semua jalan menuju ke sana harus ditutup. Dari prinsip-prinsip legal dan aturan dasar tentang isu-isu ini dapat dikatakan bahwa  pernikahan dini yang bermuara pada efek fisik dan psikis yang serius adalah terlarang berdasar prinsip sad al-dhari>’ah. Hal serupa juga diberlakukan pada tindakan aborsi yang membahayakan dan bisa merusak kesehatan wanita, baik dalam proses aborsi ataupun karena impact yang bersifat psikis atau sosial.

Kata Kunci: fikih, reproduksi perempuan, pernikahan dini, aborsi

pendahuluan

“Reproduksi” umumnya merujuk kepada siklus kehidupan perempuan yang sederhananya berhubungan dengan kesuburan (fertility), kelahiran (birth), pengasuhan anak (childcare), dan lain-lain. Ketika berbicara tentang isu ini, memang ada perbedaan yang begitu signifikan antara etika yang dikembangkan dalam tradisi feminisme dan etika yang dikembangkan fikih Islam. Di kalangan feminisme berkembang sebuah paham bahwa masalah reproduksi adalah refleksi dari penuntutan hak mereka untuk melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kata mereka, “Yang menentukan tubuh kita adalah kita sendiri.” Untuk itu, mereka menolak segala bentuk penafsiran terhadap tubuh dan reproduksi mereka dari cerita besar laki-laki, karena yang mengalami adalah kaum perempuan. Oleh karena itu, yang berhak menafsirkan diri mereka adalah mereka sendiri, bukan yang lainnya. Isu-isu reproduksi ini dalam perkembangannya mempunyai implikasi terhadap ranah publik. Karena persoalan yang dianggap pribadi itu tidak lagi dapat didiamkan, tetapi harus menjadi wacana publik.

Sedangkan dalam etika Islam, yang dasar epistemologisnya berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi, masalah reproduksi bukanlah masalah manusia semata. Tetapi sudah bermain dalam ranah itu tangan-tangan Tuhan. Yang mengetahui manusia dengan baik adalah Dzat yang menciptakannya, yaitu Tuhan, bukan manusia. Untuk itu, Tuhan memberikan aturan-aturan untuk kebaikan manusia, dengan cara diturunkannya kitab-kitab melalui para nabinya. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Untuk tiap-tiap umat diantara kalian, kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. al-Ma>’idah [5]: 48). Bagi umat Islam, keyakinan diturunkannya al-Qur’an melalui lisan Nabi Muhammad saw., maka, yang menjadi etika dasar pertama adalah akidah, keyakinan mutlak bahwa segala aturan hukum dibuat Allah pada dasarnya untuk kebaikan umat manusia itu sendiri. Dan semua bangunan berikutnya berada pada dasar akidah ini. Untuk lebih jelasnya, lihat bagan berikut:

Keterangan:

  1. Akidah:
  2. Nilai-nilai akhlak.
  3. Teori umum syariat.
  4. Teori khusus bahasan-bahasan fikih.
  5. Hukum-hukum fikih

Prinsip akidah berada pada jantung lingkaran, yang menegaskan bahwa Allah adalah Pembuat aturan hukum (شارع) karena Dia-lah Dzat yang mengetahui apa yang terbaik buat manusia (lingkaran pertama). Aturan-aturan hukum yang ditetapkan Allah tersebut terbalut dalam nilai-nilai etika [القيم الأخلاقية] yang menjadi dasar yang sangat kuat, seperti keadilan, kasih sayang, kemaslahatan, kesetaraan, mu’a>sharah bi al-ma’ru>f (lingkaran kedua). Nilai-nilai ini diterjemahkan menjadi kaidah-kaidah umum syariat (النظرية العامة للشريعة) sehingga menjadi prinsip-prinsip yang dipedomani (lingkaran ketiga). Misalnya, dari prinsip mas}lah}ah diuraikan menjadi pemeliharaan terhadap lima hal yang substansial (agama, jiwa, akal, keturunan, harta). Dari sini, maka ditarik kaidah-kaidah khusus untuk setiap bahasan fikih [النظرية الخاصة بأبواب الفقه] (lingkaran keempat). Sebagai contoh, dalam bab hukum keluarga (أحكام الأسرة), yang menjadi tujuan umumnya adalah:

  1. Pengaturan hubungan antara dua jenis (tanz}i>m al-‘ala>qah bayn al-jinsayn).
  2. Pemeliharaan terhadap spesies manusia (h}ifz} al-naw’).
  3. Pewujudan ketenangan dan kasih sayang (tah}qi>q al-sakan wa al-mawaddah wa al-rah}mah).
  4. Pemeliharaan terhadap keturunan (h}ifz} al-ansa>b).[1]

Maka, semua prinsip-prinsip hukum praktis (الأحكام الفرعية للفقه) yang terkait dengan isu keluarga, misalnya, harus merupakan cerminan dari nilai-nilai umum ini. Dari skema metodologis ini, maka penulis mencoba melihat sekelumit isu yang terkait dengan reproduksi perempuan, terutama yang menjadi isu yang menjadi perhatian intensif saat ini, yaitu perkawinan di usia dini (child marriage) dan aborsi. Kedua isu ini penting untuk dibahas karena kedua fenomena ini berkaitan erat dengan persoalan kesehatan reproduksi perempuan.

perkawinan dini: melihat kasus syekh puji

Mencuatnya kasus Pujiono Cahyo Widianto (Syekh Puji) di desa Bendono yang menikahi anak perempuan berusia 12 tahun, yang dalam anggapan UU Perkawinan (minimal 16 tahun) dan UU Perlindungan Anak (minimal 18 tahun) masih di bawah umur, menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana sebenarnya konsep fikih Islam tentang isu ini. Ini menjadi penting karena fenomena pernikahan dini ini telah begitu meluas dalam sebagian masyarakat kita, seperti di antaranya, Jawa Timur (terutama Sumenep, Madura), Jawa Barat (terutama Kuningan), dan Jawa Tengah.

Menurut analisis banyak pakar sosial, fenomena ini terjadi karena faktor kemiskinan yang begitu tinggi dan pendidikan yang begitu rendah. Ini diperkuat oleh pernyataan UNICEF yang menegaskan bahwa kemiskinan merupakan motivasi utama dalam perkawinan dini.[2] Kedua hal ini memang saling berkait kelindan. Semakin miskin seseorang itu, maka semakin kecil peluang menikmati pendidikan, terkadang hanya sampai sekolah dasar atau paling banter, sekolah menengah pertama; atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Sehingga menikah seolah-olah menjadi solusi terhadap kesulitan yang mereka hadapi. Selain itu, pergaulan bebas juga dapat dianggap sebagai faktor yang menentukan bagi terjadinya perkawinan dini, apalagi dalam ruang saat ini yang corak pergaulan antara lain jenis seringkali membawa kepada perzinaan, yang ujung-ujungnya adalah kehamilan. Sehingga solusinya adalah perkawinan yang dipaksakan. Yang perlu dilihat pula dalam kaitan ini adalah bahwa faktor budaya dan agama juga tampaknya memberikan sumbangsih yang tidak kecil bagi pembolehan jenis pernikahan ini.

Persoalan nikah dini ini memang tidak sesepele yang dibayangkan banyak orang. Secara psikologis, seorang anak di bawah umur yang menikah belumlah memiliki kematangan sehingga seringkali berujung kepada perceraian. Di sisi lain, dalam tinjauan biomedis, perkawinan di usia dini beresiko tinggi kepada perempuan ketika hamil dan kemudian melahirkan. Bahkan, tidak jarang yang membawa kepada kematian sang ibu dan bayi. Selain itu, tidak jarang muncul efek-efek psikologis yang buruk, konsekuensi kesehatan akibat aktivitas seksual dan melahirkan anak pada kali pertama. Lebih dari itu, secara sosial, mereka seringkali ditempatkan dalam posisi subordinat dibandingkan dengan orang tua dan suaminya.[3] Jadi, dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini (child marriage) banyak membawa masalah bagi kesehatan reproduksi perempuan. Artinya, bahaya dan kerugian yang ditimbulkan tampaknya lebih besar ketimbang kemaslahatan yang diterima seorang perempuan.

Dari fakta ini, apakah Islam memberikan justifikasi terhadap jenis perkawinan ini? Dalam banyak kitab fikih, memang disebutkan adanya kebolehan perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang dianggap sudah balig, meskipun belum cukup umur, karena faktor balig bagi perempuan itu tidak tergantung usia, tapi tergantung pada haid. Bahkan, bapak, atau kakek—sebagai wali mujbir—boleh mengawinkan puteri/cucunya yang masih gadis tanpa harus mendapatkan persetujuan dari diri perempuan yang akan dinikahkannya, asalkan ia bukan janda.[4] Konsep wali mujbir ini dikenal dalam mazhab Sha>fi’i>, namun dengan beberapa persyaratan: (a) tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap laki-laki calon suaminya; (b) tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap ayahnya; (c) calon suami haruslah orang yang se-kufu’ (setara/sebanding); (d) mas kawin (mahar) harus tidak kurang dari mahr mithl, yakni mas kawin perempuan lain yang setara; (e) calon suami diduga tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan yang akan menyakiti hati perempuan itu.[5] Di antara ulama yang membolehkan ini adalah Ibn al-Mundhir, Ibn Quda>ma>, Ibn H{ajar, dan lain-lain.

Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas, Ibn Shubrumah,[6] Abu> Bakr al-As}am,[7] dan Uthma>n al-Batti>, berpandangan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah dinikahkan.[8] Mereka hanya boleh dinikahkan jika sudah balig dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit. Alasannya adalah al-Qur’an:

(#qè=tGö/$#ur 4’yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Y‰ô©â‘ (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. al-Nisa>’ [4]: 6)

Menurut mereka, jika anak-anak belia tersebut boleh dinikahkan, maka apa gunanya ayat ini. Dari pandangan para ulama ini, tersirat dengan jelas bahwa kawin muda bukanlah hal yang baik. Apalagi jika dilihat dari sudut pandang psikologis dan medis, bahwa pernikahan dini ini bisa berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan. Berdasarkan hal ini, maka pernikahan dini bisa mengantarkan kepada status haram (dilarang), padahal tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk kemaslahatan dan kebaikan semua pihak yang terkait. Dalam kaidah fikih disebutkan al-d}arar yudfa’ bi qadr al-imka>n (kemudaratan mesti dihindari/ditolak sebisa mungkin).[9] Di sini, berlaku prinsip sadd al-dhari>’ah (menutup jalan yang bisa mengantarkan kepada bahaya), dan menutup jalan tersebut merupakan sebuah kewajiban, agar tidak muncul bahaya yang lebih besar. Dari sinilah, undang-undang menjadi sangat penting, karena, dalam politik hukum Islam (siya>sah shar’iyyah), dapat memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan menghilangkan segala bentuk perbedaan pendapat.

Lalu, bagaimana dengan kasus perkawinan Sayyidah ‘A<’ishah, yang dalam sebuah riwayat dari Hisha>m b. ‘Urwah dipinang oleh Rasulullah Saw pada usia enam tahun, dan digauli pada usia sembilan tahun. Kasus inilah yang dengan gigih dipegang oleh Syekh Puji untuk melegitimasi pernikahannya yang kontroversial itu. Redaksi hadis tersebut berbunyi:

عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أن النيي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع سنين. قال هشام: أنبئت أنها كانت عنده تسع سنين.

“Nabi saw. menikahi ‘A<’ishah sedangkan ia saat itu baru berusia enam tahun, dan menggaulinya pada usia sembilan tahun.” Hisha>m berkata, “Aku diceritakan bahwa ‘A<’ishah tinggal bersama Rasulullah pada usia sembilan tahun.”[10]

Dari sudut pandang ilmu kritik hadis (naqd al-h}adi>th), hadis ini bisa dikritik dari berbagai segi. Misalnya dari segi matan, hadis ini bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an yang berbunyi:

“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang bijak. Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. Al-Nisa>’ [4]: 5-6).

Di sini, ayat al-Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil tes yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta kepada mereka. Tidak ada seorang muslim pun yang bertanggung jawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan kepada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, maka gadis tersebut tidak memenuhi syarat secara fisik dan intelektual untuk menikah.

Dari aspek perawi, hadis ini diriwayatkan oleh Hisha>m b. ‘Urwah pada saat ia berusia 71 tahun, dan asal hadis ini adalah dari orang-orang Irak, tempat tinggalnya Hisha>m tua, yang sebelumnya ia pernah menetap di Madinah. Dalam penelitian rija>l al-h}}adi>th, Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> menyebutkan bahwa Ya’qu>b b. Shaybah berkata, “Hisha>m sangat bisa dipercaya, riwayatnya bisa diterima, kecuali hadis-hadis yang diriwayatkan setelah ia pindah ke Irak.”[11] Ma>lik b. Anas menolak riwayat Hisha>m yang dicatat oleh orang-orang Irak.[12] Al-Dhahabi> juga menyebutkan, “Ketika masa tua, ingatan Hisha>m mengalami kemunduran yang mencolok.”[13] Berdasarkan rujukan ini, dapat dikatakan bahwa ingatan Hisha>m sangatlah buruk dan periwayatannya setelah ia pindah ke Irak tidak dapat diterima. Oleh karena itu, riwayatnya mengenai usia pernikahan ‘A<’ishah tidaklah dapat dipercaya.

Selanjutnya dari analisis sejarah, dapat dikatakan adanya kontradiksi dan ambivalensi terhadap ini. Misalnya, turun wahyu pertama adalah pada tahun 610 M. Dalam kitab sejarah al-T{abari> disebutkan bahwa ‘A<’ishah dipinang Nabi pada tahun 620 M (usia 7 tahun), dan baru tinggal bersama Nabi pada tahun 623/624 M (usia 9 tahun). Di bagian lain, al-T{abari> menceritakan bahwa semua anak Abu> Bakr (empat orang) lahir pada masa Jahiliyah dari dua isterinya. Jika ia dipinang pada usia 7 tahun (620 M) dan tinggal bersama usia 9 tahun (624 M), berarti ia dilahirkan pada tahun 613 M, 3 tahun setelah masa Jahiliyah usai (610 M). Al-T{abari> juga menegaskan bahwa ‘A<’ishah lahir pada saat Jahiliyah. Jika ‘A<’ishah dilahirkan pada era Jahiliyah, maka minimal usia ‘A<’ishah seharusnya 14 tahun ketika nikah. Singkatnya, ada kontradiksi dalam periwayatan al-T{abari>.

Kemudian, kontradiksi tersebut dapat terlihat pula ketika usia ‘A<’ishah dihitung berdasarkan usia Fa>t}imah, puteri Nabi. Menurut Ibn H{ajar, Fa>t}imah dilahirkan ketika Ka’bah dibangun kembali pada saat Nabi Saw berusia 35 tahun. Usia Fa>t}imah 5 tahun lebih tua dari ‘A<’ishah. Jika ‘A<’ishah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia ‘A<’ishah ketika menikah adalah 12 tahun.

Hal yang sama juga terjadi jika dihitung berdasarkan usia Asma>, kakak ‘A<’ishah. Menurut sebagian besar ahli sejarah, Asma>, saudara tertua dari ‘A<’ishah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma> wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, maka Asma> seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622 M (ketika ‘A<’ishah berumah tangga), dan ‘A<’ishah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun ketika menikah.

Lebih jauh lagi, ada sebuah riwayat yang menceritakan tentang partisipasi ‘A<’ishah dalam perang Badr, seperti disebutkan dalam hadis Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukha>ri> dalam Kita>b al-mgha>zi>î, ba>b ghazwah al-Khandaq wa h}iyal al-Ah}za>b, bahwa Ibn ‘Umar berkata bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya berpartisipasi dalam perang Uhud, sedangkan pada saat itu usia Ibn ‘Umar adalah 14 tahun. Namun, ketika perang Khandaq, yang pada saat itu ia berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibn ‘Umar untuk ikut dalam perang. Berdasarkan riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang berada di bawah usia 15 tahun akan dipulangkan dan tidak boleh ikut dalam perang, sementara ‘A<’ishah ikut dalam perang Badr dan Uhud. Ini mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, minimal usianya saat itu adalah 15 tahun.

Dalam riwayat lain, seperti yang disebutkan oleh al-Bukha>ri>, ‘A<’ishah diberitakan pernah mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (ja>riyah) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan.” Surat ini diturunkan pada tahun ke-8 sebelum hijrah, yaitu sekitar tahun 614 M. Jika ‘A<’ishah memulai berumah tangga dengan Rasulullah pada saat berusia 9 tahun di tahun 623 M atau 624 M, mana ini berarti bahwa ‘A<’ishah masih dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan (s{ibyah) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Dan fakta tampaknya menunjukkan bahwa ‘A<’isyah pada saat itu adalah seorang gadis yang masih muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar.

Dari sudut analisis bahasa, terlihat bahwa usia ‘A<’ishah pada saat dinikahi bukan dalam keadaan masih anak-anak. Dalam sebuah riwayat dari Ah}mad b. H{anbal disebutkan bahwa sesudah meninggalnya isteri Nabi yang pertama, Khadi>jah, Khawlah datang kepada Nabi dan menyarankan agar beliau menikah lagi. Nabi kemudian bertanya tentang pilihan yang ada dalam pikiran Khawlah. Khawlah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (بكر) atau seorang wanita yang pernah menikah (ثيب).” Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (بكر), Khawlah menyebutkan nama ‘A<’ishah. Bagi orang yang memahami bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata  بكرdalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Dari kritik sejarah dan analisis bahasa ini dapat disimpulkan bahwa asumsi perkawinan Rasulullah Saw. dengan ‘A<’ishah pada usia dini tentu perlu direnungkan ulang, karena bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an, bukti sejarah, dan juga fakta bahwa Nabi merupakan pejuang dan pembela hak-hak perempuan, terutama hak reproduksinya. Sehingga legitimasi Syekh Puji terhadap pernikahannya sesungguhnya tidaklah berdasar.

aborsi versus hak hidup

Di negara-negara Barat, praktik aborsi dapat dibenarkan karena ini terkait dengan hak asasi manusia.[14] Namun lain dengan negara-negara Muslim, yang agama memainkan peran dalam pengaturan masyarakat, maka masalah ini menjadi problematis. Problematika tersebut terlihat pada fakta yang menunjukkan bahwa aborsi merupakan salah satu hal yang membahayakan bagi kesehatan reproduksi. Dampaknya secara medis begitu serius, seperti di antaranya kematian. Dan jumlah kematian karena aborsi melebihi kematian perang mana pun, kecelakaan, dan penyakit.[15] Lebih luasnya, dampak yang diakibatkan aborsi adalah sebagai berikut: kematian mendadak karena pendarahan hebat; kematian mendadak karena pembiusan yang gagal; kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan; rahim yang sobek (uterine perforation); kerusakan leher rahim (cervical lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya; kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita); kanker indung telur (ovarian cancer); kanker leher rahim (cervical cancer); kanker hati (liver cancer); kelainan pada plasenta/ari-ari (placenta previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya; menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (ectopic pregnancy); infeksi rongga panggul (pelvic inflammatory disease); infeksi pada lapisan rahim (endometriosis). [16]

Tidak hanya berbahaya secara medis, bahkan perempuan yang melakukan aborsi mengalami apa yang dinamakan sebagai  post-abortion syndrome (sindrom pasca aborsi). Misalnya, kehilangan harga diri, berteriak-teriak histeris, mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi, ingin melakukan bunuh diri, mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang, tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual. Dan yang tidak kalah pentingnya, dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.[17] Namun begitu, di berbagai negara di dunia, legalisasi terhadap tindakan aborsi telah dilakukan, bahkan dengan alasan apa pun, seperti Albania, Australia, Bahrain, Belgia, Bosnia, Kamboja, Kanada, China, Kroasia, Kuba, Denmark, Jerman, Yunani, Hongaria, Belanda, Norwegia, Swedia, Amerika, Vietnam, dan Yugoslavia. Negara/kota yang menolak secara mutlak hanyalah Vatikan.[18]

Di Indonesia, tindakan aborsi dapat dikatakan cukup tinggi. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia.[19] Guru Besar FKUI, Prof. Dr. Biran Affandi, malah mengungkapkan bahwa kasus aborsi atau keguguran di Indonesia saat ini mencapai sekitar 2,3 juta kasus per tahunnya. Satu juta merupakan abortus spontan (keguguran), 0,6 juta kasus kegagalan KB dan 0,7 juta karena tidak memakai alat kontrasepsi KB.[20] Dari penelitian World Health Organization (WHO), diperkirakan bahwa tingkat aborsi mencapai atau melebihi 2,5 juta per tahun. 20-60 persen aborsi di Indonesia adalah aborsi disengaja (induced abortion). Penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di Indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan. Kasus aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan (70%), sedangkan di pedesaan dilakukan oleh dukun (84%). Klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun. 2,5 juta itu perkiraan yang bisa jadi terlalu kecil karena barangkali jumlah kasusnya lebih besar lagi. Alasan untuk melakukan aborsi yang diberikan di dalam penelitian tersebut adalah beragam termasuk “hamil karena perkosaan, janin dideteksi punya cacat genetik, alasan sosial ekonomi, ganguan kesehatan, KB gagal dan lainnya.”

Dalam perspektif fikih Islam, aborsi yang terjadi karena hal alami, tanpa disengaja, mungkin tidak terlalu disentuh hukumnya. Namun yang menjadi problem adalah bagaimana jika itu dilakukan dengan sengaja? Ada kesepakatan di antara ulama mazhab, apabila itu dilakukan setelah masa kandungan 120 hari (4 bulan), maka hukumnya adalah haram. Tetapi para ulama fikih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya. Seperti dijelaskan oleh oleh Shaltu>t,[21] ulama yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh adalah Al-Ramli> (w. 1596 M) dalam kitabnya Niha>yah al-Muh}ta>j dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa, dan ada pula yang memandangnya makruh dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Sedangkan yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Imam Ibn H{ajar (w. 1567 M) dalam Tuh}fah al-Muh}ta>j dan Al-Ghaza>li> dalam Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n. Bahkan Mah}mu>d Shaltu>t sendiri berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur), aborsi diharamkan karena sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.[22]

Penulis lebih cenderung kepada pandangan yang dikemukakan Ibn H{ajar, Al-Ghazza>li> dan Shaltu>t ini, karena betapa pun perlindungan terhadap hak hidup merupakan suatu hal yang universal. Membunuh satu nyawa saja, dalam bahasa al-Qur’an, dianggap membunuh seluruh umat manusia. Termasuk pembunuhan terhadap janin, terlepas apakah itu di bawah 120 hari atau sebelumnya. Karena, ketika terjadi pembuahan, pada hakikatnya telah ada benih kehidupan. Membahayakan janin merupakan tindakan yang dilarang, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan oleh syariat. Untuk itu, perlu terus didengungkan bahwa pemeliharaan terhadap hidup (h}ifz} al-h}aya>h) mengharuskan pula tindakan penghilangan dan pencegahan segala tindakan yang mengancam dan membahayakan kehidupan.

Selain itu, jika dilihat dari perbandingan antara dampak dan kemaslahatan yang ditimbulkannya, tampaknya timbangan mudarat aborsi masih lebih besar. Untuk itu, aborsi harus dihindari dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui sosialisasi kesehatan produksi dan pendidikan, entah itu di majelis-majelis taklim atau tempat-tempat lainnya.

penutup

Jika digunakan kaidah fikih yang menegaskan bahwa “segala bentuk mudarat harus dihilangkan” (al-d}arar yuza>l), ditambah lagi dengan kaidah “segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan mudarat harus ditutup atau harus dihindari dan dicegah” (al-d}arar yudfa’ bi qadr al-imka>n), maka dapat dikatakan bahwa persoalan pernikahan anak-anak (child marriage) atau pernikahan dini (early marriage) dan aborsi semestinya dilarang. Ini didasari pada fakta dan penelitian sosial dan medis bahwa kedua persoalan ini banyak menimbulkan efek-efek yang berbahaya bagi psikologi dan kesehatan reproduksi perempuan, serta kehidupan sosial mereka.

Oleh karena itu, pembentukan undang-undang yang menghambat munculnya praktik pernikahan anak-anak dan aborsi harus dibuat dengan sungguh-sungguh. Hal ini sejalan dengan prinsip menutup potensi terjadinya berbagai hal yang dapat membahayakan kesehatan reproduksi dan psikologi perempuan. (Dimuat dalam Justitia Islamica STAIN Ponorogo, Vol 6, No. 2, Juli-Desember 2009)

daftar pustaka

A. Sumber Cetak

Ashqar, ‘Umar Sulayma>n, Ah}ka>m al-Zawa>j fi> D{aw’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah. Yordania: Da>r al-Nafa>’is, 1997.

‘Asqala>ni>, Ibn H{ajar Shiha>b al-Di>n, Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Juz 4, Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, tt.

‘At}iyyah, Jama>l al-Di>n, Nah}wa Taf’i>l Maqa>s}id al-Shari>’ah. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2001.

Bukha>ri>, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad b. Isma>’i>l, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}}. Jilid 3, Kairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1400 H.

Burnu>, Muh}ammad S{idqi> b. Ah}mad b. Muh}ammad, al-Waji>z fi> I<d}a>h} Qawa>’id al-Fiqh al-Kulliyyah. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1996.

Dhahabi>, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad b. Ah}}mad b. ‘Uthma>n, Mi>za>n al-I’tida>l fi> Naqd al-Rija>l. Tah}qi>q: ‘Ali> Muh}ammad al-Baja>wi>, Jilid 4, Beirut: Da>r al-Ma’rifah, tt.

Jones, Gavin W., “Which Indonesian Women Marry Youngest, and Why?” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 1 (February 2001), 67-78.

Shaltu>t, Mah}mu>d, al-Fata>wa>. Cet. ke-14, Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1987.

Tremayne, Soraya, “Modernity and Early Marriage in Iran: A View from Within,” Journal of Middle East Women’s Studies, Vol. 2, No. 1 (Winter 2000), 65-94.

UNICEF, Early Marriage: Child Spouses. Florence: Innocenti Research Center, 2000.

Zampas, Christina dan Jaime M. Gher, “Abortion as a Human Right—International and Regional Standards,” Human Rights Law Review, Vol. 8, No. 2 (2008), 249-294.

Zarqa>, Ah}mad b. Muh}ammad, Sharh} al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah. Damaskus: Da>r al-Qalam, 1989

Zuh}ayli>, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu. Jilid VII, Beirut: Da>r al-Fikr, 1985.

B. Sumber Web

“Statistik Aborsi” dalam http://www.aborsi.org/statistik.htm. (Akses: 20 Nopember 2008).

“Resiko Aborsi” dalam http://www.aborsi.org/resiko.htm.  (Akses: 20 Nopember 2008).

“Summary of Abortion Laws Around the World” dalam Error! Hyperlink reference not valid. Nopember 2008).

“Pelakunya tidak Hanya Warga Perkotaan, Setahun 2,3 Juta Wanita Indonesia Aborsi” dalam http://www.posmo.com/fullnews.cgi?newsid960667297, 72508. (Akses: 20 Nopember 2008).


à Penulis adalah Dosen STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.

[1] Lihat Jama>l al-Di>n ‘At}iyyah, Nah}wa Taf’i>l Maqa>s}id al-Shari>’ah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2001), 148-54.

[2] UNICEF, Early Marriage: Child Spouses (Florence: Innocenti Research Center, 2000), 6. Lihat pula Soraya Tremayne, “Modernity and Early Marriage in Iran: A View from Within,” Journal of Middle East Women’s Studies,Vol. 2, No. 1(Winter 2000), 68.

[3] Gavin W. Jones, “Which Indonesian Women Marry Youngest, and Why?” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 1 (February 2001), 67.

[4] Redaksi hadis dari Imam al-Da>ruqut}ni> adalah sebagai berikut: الثيب أحق من نفسها و البكر يزوجها أبوها (Janda itu berhak mengawinkan dirinya sendiri, dan perawan dikawinkan oleh bapaknya.)

[5] Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, Jilid VII (Beirut: Da>r al-Fikr, 1985), 182.

[6] Ibn Shubrumah adalah seorang qad}i> di Kufah pada masa Khali>fah al-Mans}u>r

[7] Abu> Bakr al-As}am adalah seorang ahli fikih dari aliran Mu’tazilah.

[8] ‘Umar Sulayma>n al-Ashqar, Ah}ka>m al-Zawa>j fi> D{aw’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Yordania: Da>r al-Nafa>’is, 1997), 121.

[9] Ah}mad b. Muh}ammad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1989), 207; Muh}ammad S{idqi> b. Ah}mad b. Muh}ammad al-Burnu>, al-Waji>z fi> I<d}a>h} Qawa>’id al-Fiqh al-Kulliyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1996), 256.

[10] Hadis ini terdapat dalam Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad b. Isma>’i>l al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}}, Bab Inka>h al-Rajul Waladahu al-S{ighar (Seorang laki-laki menikahkan anaknya yang masih kecil), Jilid 3 (Kairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1400 H), 371.

[11] Ibn H{ajar Shiha>b al-Di>n al-‘Asqala>ni> al-Sha>fi’i>, Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Juz 4 (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, tt), 275.

[12] Ibid.

[13] Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad b. Ah}mad b. ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Mi>za>n al-I’tida>l fi> Naqd al-Rija>l, Tah}qi>q: ‘Ali> Muh}ammad al-Baja>wi>, Jilid 4 (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, tt), 301.

[14] Lihat Christina Zampas dan Jaime M. Gher, “Abortion as a Human Right—International and Regional Standards,” Human Rights Law Review, Vol. 8, No. 2 (2008), 249-294.

[15] Dikutip dalam “Statistik Aborsi,” http://www.aborsi.org/statistik.htm. (Akses: 20 Nopember 2008).

[16] Dikutip dalam “Resiko Aborsi,” http://www.aborsi.org/resiko.htm.  (Akses: 20 Nopember 2008).

[17] Ibid.

[18] Dikutip dalam “Summary of Abortion Laws Around the World,” http://www.pregnantpause.org/lex/world02.htm.  (Akses: 20 Nopember 2008).

[19] Dikutip dalam “Statistik Aborsi,” http://www.aborsi.org/statistik.htm. (Akses: 20 Nopember 2008).

[20] Dikutip dalam “Pelakunya tidak Hanya Warga Perkotaan, Setahun 2,3 Juta Wanita Indonesia Aborsi,” http://www.posmo.com/fullnews.cgi?newsid960667297,72508. (Akses: 20 Nopember 2008).

[21] Dikutip dalam Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa>, Cet. ke-14 (Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1987), 290-91.

[22] Ibid., 289-92.

Dimuat dalam Justitia Islamica STAIN Ponorogo, Vol 6, No. 2, Juli-Desember 2009)

Tinggalkan komentar