Fiqh dan Tantangan Global

FIQH DAN TANTANGAN GLOBAL

DALAM BIDANG EKONOMI KEUANGAN

 

Oleh:

Abid Rohmanu*

 

Pendahuluan

Konsep globalisasi sekarang ini telah merambah hampir semua aspek kehidupan manusia. Kata global menjadi begitu “in” pada era sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengar istilah global politics, global technology, global strategy, global market dan global economy. Bahkan bumi tempat kita berpijakpun, meminjam istilah Alwi Shihab, tidak lepas dari predikat global, yaitu global village.[1]

Globalisasi, dalam bidang apapun itu, selalu bersifat dialektik. Dalam artian bahwa globalisasi satu sisi menawarkan keuntungan dan kemudahan, akan tetapi di sisi lain juga membawa pada implikasi-implikasi negatif, termasuk apa yang disebut dengan globalisasi ekonomi. Terlepas dari manfaat yang akan muncul, globalisasi ekonomi[2] jelas merupakan tantangan tersendiri bagi aspek etika dan moral keagamaan seiring dengan makin kompetitifnya persaingan global antar produsen.

Harus diakui bahwa Umat Islam dewasa ini dalam pentas perekonomian global berada dalam posisi marjinal-subordiatif. Karenanya wajar bila Umat Islam  berada dalam posisi yang lemah dan lebih banyak dipaksa untuk menyesuaikan dengan konsep-konsep maupun praktek-praktek ekonomi pihak luar yang sering kali keluar dari norma-norma Agama Islam.[3]

Padahal dari sisi yang lain, secara etis Umat Islam haruslah berpedoman kepada nilai-nilai eksoteris Islam , “islami” (fiqh), bukan kepada ajaran hukum positif manusia yang semata-mata hasil pemikiran manusia itu sendiri tanpa ada keterkaitan dengan dimensi ketuhanan yang hakiki. Legalitas hukum yang bersifat sekuler semata akan berakibat kepada munculnya problem dehumanisasi materialistik.[4] Di sisi lain Umat Islam mengklaim bahwa agamanya tidak saja bersifat universal akan tetapi juga bersifat komprehensif, yakni mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah)[5]. Aspek ekonomi sebagai bagian dari dimensi sosial umat Islam tak luput dari perhatian agama.

Berdasar paparan di atas, tulisan ini mencoba sekilas menguak khazanah ekonomi Islam dalam disiplin fiqh dan bagaimana khazanah tersebut dimunculkan kembali untuk merespon dan mengapresiasi fenomena ekonomi global. Dengan cara seperti ini diharapkan fiqh bukan hanya sekedar warisan dan khazanah masa lalu yang semakin ditinggalkan umat, yang berarti juga akan menjauhkan umat dari agamanya, akan tetapi menjadi lokomotif bagi kemajuann umat.

 

Ke Arah Pola Berfiqh yang Responsif terhadap Fenomena Ekonomi Global

Fiqh dalam lintasan sejarahnya tidak terlepas dari pergumulannya dengan perilaku ekonomi umat,  tentunya secara dominan dari sisi ketentuan hukum dari perilaku tersebut. Fiqh dengan muatan seperti ini sering disebut dengan fiqh mu’amalat. Hal tersebut  selaras dengan batasan fiqh sebagai ilmu  tentang hukum-hukum shara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalilnya.[6] Fiqh menyangkut bidang yang sangat luas, karena ia berkaitan dengan perilaku manusia yang konkrit.

Karenanya menyamakan begitu saja antara ekonomi Islam dengan fiqh mu’malah adalah tidak tepat. Ilmu ekonomi (Islam) mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada sekedar pembahasan tentang aspek hukum dari tindakan ekonomi. Muhammad Anas al-Zarqa` menampilkan contoh “penimbunan barang” (al-ih}tika>r) untuk membedakan  dengan tegas antara fiqh mu’amalat dengan kajian ekonomi. Dalam kasus penimbunan tersebut, seorang yuris (faqih) akan membahas tentang dalil pengharaman penimbunan, barang-barang yang haram untuk ditimbun, sifat dan syarat penimbunan yang terlarang dan jenis hukuman yang dikenakan bagi pelakunya. Sedangkan seorang ekonom akan membahas tentang faktor-faktor yang mendorong munculnya aksi penimbunan, macam, implikasinya terhadap pasar dan yang lainnya.[7]

Walaupun fiqh mu’amalat dan ilmu ekonomi mempunyai wilayah masing-masing, akan tetapi keduanya justru saling memberikan kontribusi. Permasalahan ekonomi dan kebijakannya tidak bisa dibangun semata-mata dengan hal-hal yang empirik dan positivistis akan tetapi juga harus dengan  sandaran nilai yang terbingkai dalam hukum shara`.[8] Sebaliknya ilmu ekonomi juga memberikan kontribusi pada disiplin fiqh, dalam hal memberikan bahan-bahan untuk perumusan ketentuan hukum perilaku ekonomi tertentu.[9]

Harus diakui bahwa umat Islam memiliki khazanah tradisi yang kaya sebagai modal awal bagi pengembangan ekonomi umat. Hal tersebut tidak saja dilatarbelakangi oleh kayanya warisan tradisi material akan tetapi juga etika dan nilai Islam yang produktif bagi pengembangan ekonomi. Islam tidak menghalangi kemajuan ekonomi, tidak sebagaimana tesis Weber yang menganggap hanya etika Protestan saja yang relevan terhadap dinamika ekonomi dan spirit modernitas.[10] Sejak awal, secara normatif (syari’ah) Islam telah memberikan legitimasi bagi pengembangan sektor-sektor perekonomian dengan, tentunya tetap berpegang pada tata nilai Islam. Bahkan Islam menganggap persoalan ekonomi merupakan bagian dari misi profetik.[11] 

Adanya misi profetik dalam ekonomi Islam menunjukkan adanya unsur ilahiyah, spiritual,  dan hal inilah yang membedakan dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. [12] Dua sistem perekonomian ini sama-sama memandang manusia, kendati dalam bentuk yang berbeda, sebagai homo ecomonicus (manusia ekonomi),[13] karenanya secara dominan berorientasi pada paham materialisme dan menafikan segala hal yang bernuansa transenden. Akibatnya adalah tidak adanya balance (keseimbangan) kejiwaan masyarakat dan pada akhirnya mengarah pada instabilitas sosial, apalagi kalau terbukti secara materipun sistem perekonomian tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat secara memuaskan.

Sedangkan ekonomi Islam, menurut Harun Nasution, bercorak sosialis-relijius dengan diperkuat prinsip-prinsip antara lain;

  1. Prinsip nasionalisasi, berdasar hadis Nabi saw. tentang tidak bolehnya 3 hal dimiliki secara pribadi, yaitu, air, padang pengembalaan dan api.
  2. Larangan riba, karena menguntungkann kaum kapitalis dan merugikan masyarakat.
  3. Larangan monopoli.

Masih menurut Harun Nasution, sosialisme Islam berada di tengah-tengah antara sosialisme materialisme Barat dan kapitalisme.[14]

Selain Islam memberikan landasan teologis yang kondusif dan produktif bagi pengembangan sektor ekonomi, masyarakat muslim juga mempunyai landasan historis dan tradisi yang meyakinkan bagi pengembangan sektor ini. Sebagaimana diketahui, Islam lahir dari masyarakat urban. Pada abad ke-7, Mekah merupakan wilayah yang sarat dengan aktivitas ekonomi, termasuk watak-watak dari tokoh-tokoh Islam dalam sejarah. Pada level inilah bisa dikatakan Timur (Islam) pararel dengan Barat.[15] Sementara itu fiqh yang dalam sejarahnya merupakan the king of islamic sciences  tidak bisa menegasikan pembahasan tentang perilaku ekonomi, karena batasan fiqh itu sendiri sebagai disiplin yang merefleksi secara logis kondisi sosial dan budaya.

Kalau masyarakat muslim dewasa ini secara ekonomi berada dalam posisi marjinal, persolannya lebih pada kurangnya apresiasi terhadap khazanah tradisi. Sebenarnya dari sisi modal tradisi ini, masyarakat muslim lebih unggul dari Barat, akan tetapi karena Barat lebih kreatif dalam menyikapi tradisi mereka sendiri, bahkan berani untuk mencomot tradisi pihak lain, maka hasilnyapun dapat kita lihat seperti sekarang ini.

Menurut Zainul Arifin, Barat tidak merasa enggan untuk menimba pengalaman dari tradisi pihak lain. Arifin mengklaim bahwa teori-teori ekonomi modern pada dasarnya adalah warisan para ekonom muslim masa kejayaan Islam yang dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan Barat. Sayangnya, menurut Arifin, mereka enggan menyebutkan rujukan-rujukan asal mereka yang nota bene-nya adalah kitab-kitab klasik keilmuan Islam.[16] Untuk menguatkan pernyataanya tersebut, ia memaparkan bukti-bukti meliputi konsepsi-konsepsi ekonomi, karya-karya ekonom muslim bahkan institusi-institusi ekonomi yang sengaja diadopsi oleh Barat.[17] Seberapa jauh kebenaran pendapat Arifin, memang memerlukan pembuktian lebih lanjut. Akan tetapi paling tidak pernyataan tersebut menggugah kesadaran dan potensi umat. Karena sementara ini umat Islam sendiri yang banyak mempunyai akses terhadap kitab-kitab klasik tersebut tidak menguasai metodologi ilmu ekonomi, sehingga mereka kurang dapat menghargai pemikiran-pemikiran brilian pada kitab-kitab tersebut.[18]

Selain karena kurangnya penguasaan metodologi bagi disiplin terkait,  menurut penulis kurangnya apresiasi terhadap tradisi dipengaruhi oleh sikap pandang yang dogmatis terhadap fiqh. Fiqh cenderung disejajarkan dengan syari’ah yang divine dan final. Padahal kesulitan inheren dari aplikasi sistem ekonomi Islam terhadap fenomena perekonomian modern adalah bahwa “ekonomi Islam” yang terejawantahkan dalam fiqh al-mu’a>mala>t dirumuskan dalam kondisi dan setting sosial yang sama sekali berlainan. Sementara kebanyakan bentuk dan subtansi lembaga-lembaga perekonomian modern beserta konsepnya bersifat baru yang tidak pararel dengan khazanah klasik. [19] Karenanya reaktualisasi terhadap tradisi fiqh dalam rangka merumuskan sistem ekonomi Islam modern sekaligus menilai sistem perekonomian sekular menjadi sesuatu yang urgen.

Menurut al-‘Ishma>wi, Islam tidak pernah meletakkan sistem perekonomian tertentu secara baku. Hal tersebut merupakan wilayah kreasi manusia, bagian dari pemikiran keagamaan yang bermaksud merespon perkembangan sosial budaya.[20] Dalam level ini, sebenarnya ekonomi Islam tidak jauh berbeda dengan sistem-sistem lain, artinya sama-sama hasil kreativitas manusia yang mengacu dan berorientasi pada kemaslahatan manusia. Perbedaannya adalah bahwa sistem-sistem perekonomian sekuler steril dari panduan normativitas agama dan memilih rasio sebagai satu-satunya hakim dalam memecahkan persoalan ekonomi.  Berbeda dengan ekonomi Islam, walaupun ia juga membuka ruang bagi kreativitas akal, akan tetapi ia masih melibatkan agama sebagai panduan normatif, minimal dalam menyediakan perangkat etis, moral dan semangat keagamaan.

Kemaslahatan sebagai orientasi sistem perekonomian tanpa dilandasi syara’ akan mudah mengalami disparitas dan penyelewengan. Sebagai misal sistem kapitalis, dengan prinsip liberalisme kepemilikannya, memunculkan kerasnya kompetisi dan pada akhirnya melahirkan supremasi kaum berjuasi, kapitalis terhadap kaum lain. Sedangkan sistem sosialis terlalu ekstrim merespon sistem kapitalis pada akhirnya justru mereduksi kebebasan dan hak asasi manusia pada tingkat yang mengkhawatirkan. Ekonomi Islam yang dilandasi etika agama akan memberikan batasan dan rambu-rambu terhadap kemaslahatan itu sendiri sehingga tidak tercerabut dari akar spiritualisme sehingga humanisasi kemanusiaan tetap terjaga.[21]

Akan tetapi sayangnya, ekonomi Islam yang menjanjikan alternatif sistem yang lebih akomodatif dan prospektif masih memerlukan usaha-usaha transformatif yang panjang. Dari sisi wacana saja, hingga saat ini, belum ada satu literaturpun yang mengemukakan wacana ekonomi Islam secara totalitas atau menyeluruh. Yang ada baru merupakan pembahasan secara parsial saja seperti halnya zakat, riba, bank Islam dan semisalnya,[22] itu pun masih belum ditemukan bentuknya yang baku sehingga siap ditelurkan dalam bentuk perundang-undangan.

Karena itulah kerja sama yang semakin erat antara para yuris dan ekonom sangat diperlukan dalam rangka membangun totalitas sistem perekonomian Islam yang sesuai dengan semangat zaaman.    Bagaimanapun yuris mempunyai perspektif syari’ah dan tradisi Islam yang lebih luas dalam kaitannya dengan transaksi ekonomi. Preskripsi, kebijakan ekonomi yang datang dari para ekonom harus dinilai dengan perspektif ini. Sebaliknya, ekonom diharapkan tidak bersikap pasif begitu saja dalam menerima penilaian yuris, akan tetapi juga harus mampu memahami metodologi yang dipakai yuris dan memberikan penilaian ulang. Dengan cara seperti ini diharapkan kebijakan ekonomi yang ditelurkan mampu menyentuh elan vital shara’ dan lebih responsif terhadap kebutuhan riel masyarakat.[23]

Dalam hal ini, Dawam menyatakan bahwa agar ekonomi Islam bisa kompetitif, diperlukan adanya pendalaman dan pengembangan konsep-konsep moral dan etika ekonomi Islam. ini dapat dilakukan secara berarti bila cendekiawan muslim mampu melakukan interpretasi kembali al-Qur’an dan al-sunnah serta aktualisasi tradisi pemikiran Islam (fiqh) secara kontekstual dan relevan dengan tantangan zaman.[24] 

 

Penutup

Dalam era globalisasi yang merambah hampir semua cabang kehidupan ini bagaimanapun merupakan tantangan tersendiri bagi agama dan pranata-pranatanya. Tuntutan ideal bagi agama berikut pranatanya adalah mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa tercerabut dari  akar spiritualisme dan trannsendensi ketuhanan. Klaim universalitas agama Islam yang diajukan pemeluknya juga harus dimaknai secara proporsional, sehingga tidak muncul kesan apologetis.

Fiqh, khususnya aspek mu’a>mala>t-nya, dalam era perekonomian global sekarang ini juga mendapatkan tantangan. Fiqh dalam Islam menempati posisi yang strategis, ia adalah the queen of islamic  sciences. Karenanya rekontruksi perekonomian umat Islam yang terpuruk tidak akan banyak bermakna tanpa melibatkan disiplin ini. Akan tetapi keterlibatan disiplin ini pun harus dilakukan sesuai dengan porsinya. Ekonomi Islam bukanlah seperti yang tertera dalam kitab-kitab fiqh mu’a>mala>t klasik, akan tetapi ia adalah salah satu sumber ekonomi Islam, yang berbentuk warisan tradisi harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga dapat selaras dengan semangat terdalam Islam dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


* Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Konsentrasi Syari’ah.

[1] Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), 207.

[2] Dalam perspektif ekonomi, ide yang mendorong lahirnya globalisasi adalah kapitalisme pasar bebas. Globalisasi dalam hal ini juga berarti menyebarkan kapitalisme pasar bebas ke hampir seluruh penjuru dunia. Itu sebabnya, globalisasi mempunyai satu set aturan yag mencakup; membuka, deregulasi dan privatisasi ekonomi agar lebih kompetitif dan menarik bagi penanaman modal asing. Lihat Farid Prawiranegara, “Globalisasi”, Forum, No. 23 (22 September 2002), 47.

[3] Sekedar sebagai contoh, praktek ekonomi yang dicangkokkan oleh pihak luar ke dalam masyarakat Islam belum lama ini adalah GoldQuest. Terlepas dari yang pro terhadap praktek ekonomi ini, yang jelas kehadirannya telah menimbulkan keresahan sebagian masyarakat muslim. Seandainya praktek ini benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip perdagangan (jual beli), mustahil muncul adanya resistensi yang menggelora dari sebagian masyarakat.. Bahkan salah satu media memberitakan bahwa ada nasabah-nasabah Goldquest yang memprotes kolektor bisnis ini karena pencairan dana yang dijanjikannya tak kunjung terealisir. Lihat, Surya, (25 Maret 2003), 24.

[4] Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: LESISKA dan Pustaka Pelajar, 1996), 1-2.

[5] Muhammad Syafi’i Antonio, “Potensi dan Peranan Sistem Ekonomi Islam dalam Upaya Pembangunan Umat Islam Nasional dan Global” dalam Mustafa Kamal (ed.), Wawasan Islam dan Ekonomi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997), 180.

[6] Lihat Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kuwait: Da>r al-Qalm, 1977), 12.

[7] Muh}ammad Anas al-Zarqa>`, “Tahqi>q Islamiyat ‘Ilm al-Iqtis}a>d; al-Mafhu>m wa al-Manhaj”, dalam Kementerian  Kebudayaan dan Belia/International Institute of Islamic Thought, Toward Islamization of Disciplines (Riyad: al-Da>r al-‘Alamiyah li al-Kitab al-Islami, 1995), 332.

[8] Ibid., 337.

[9] Ibid.

[10] Tesis Weber tersebut antara lai dapat dilihat pada Mukti Ali, “Agama dan Perkembangan Ekonomi di Indonesia”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al. (ed.) Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia dan Paramadina,1995), 578.

[11] Nabi Saw. sendiri pernah menyatakan bahwa kewajiban tiap muslim adalah bersedekah, jikalau tidak medapatkan sesuatupun, hendaknya ia bekerja. Pekerjaan  tersebut akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain (dengan cara shadaqah). Sebagaimana dikutip oleh Mustafa al-Hamashari dalam al-Niz}a>m al-Iqtis}a>di fi al-Isla>m (Riyad: Dar al-‘Ulum, 1985), 600.

[12] Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem perekonomian yang ditandai antara lain dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: pengakuan kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan bekerja, kompetisi antar individu, tidak adanya intervensi pemerintah, pengagung-agungan rasio dalam proses developmentasi. Sedang sistem komunis sebagai oposisi terhadap kapitalis, secara umum mempunyai prinsip yang bertolak belakang.  Lihat Ibrahim Muhammad Ismail, Islam and Contemporary Economic Theories, terj. Ismail Cashmiry (Kairo: The Supreme Council for Islamic Affairs, 1961), 22-26.

[13] Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif  Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 57.

[14] Harus Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1998), 228.

[15] Hal ini antara lain dapat disimpulkan dari tulisan Maxime Rodinson, Islam and Capitalism, terj. Brian Pearce (Texas: The University of Texas Press, 1978).

[16] Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah (Jakarta: Alvabet, 1999),  3.

[17] Lihat, Ibid.,  6-7.

[18] Ibid., 3.

[19] Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes, III,  Islamic Law and Finance; Religion, Risk, and Return (Netherland: Kluwer Law International, 1998), 28-29.

[20] Muh}ammad Sa’I>d al-‘Ishma>wi, Jawhar al-Isla>m (Kairo: Madbuli al-Saghir, 1996), 72.

[21] Kemaslahatan sebagai sebuah teori dalam hukum Islam mengaharuskan terpenuhinya beberapa syarat, yaitu, kemaslahatan harus sesuai dengan tujuan-tujuan syara’ yang lima, tidak bertentangan dengan teks atau dalil yang qat}’i (nilai dan semangat etika/moral), harus rasional, berorientasi pada kepentingan umum, bukan yang sifatnya personal dan parsial. Lihat Ma’sum Mukhtar, “Naz}ariya>t al-Mas}lah}ah ‘inda al-T}u>fi, dalam Lektur (Seri IX/2000), 45.

[22] Suroso Imam Zadjuli, “Prinsip-Prisip Ekonomi Islam”, dalam M. Rusli Karim (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 39.

[23] Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics”, dalam Kementerian  Kebudayaan dan Belia/International Institute of Islamic Thought, Toward,, 259.

[24] Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa (Bandung: Mizan, 1999), 109.

Tinggalkan komentar